Kesenjangan pendidikan bagi perempuan dan lelaki nyatanya masih ada. Meski partisipasi perempuan dalam pendidikan sudah membaik, namun jumlah perempuan dalam pendidikan tinggi masih lebih sedikit daripada lelaki. Tak heran, profesi tertentu, seperti peneliti misalnya, juga masih didominasi lelaki karena kesempatan bersekolah masih lebih sedikit bagi perempuan.
Data partisipasi sekolah bagi perempuan disampaikan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam acara temu kangen para penerima anugerah (fellows) L'Oreal Indonesia for Women in Science 2004-2009, di Jakarta, Jumat (31/7/2010) lalu,.
Menurut Prof Dr Arief Rachman MPd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), terdapat lima masalah pada perempuan yang menghalangi perempuan untuk mengenyam pendidikan dan berkarier. Masalah ini perlu diatasi agar kesempatan berpendidikan dan pilihan profesi perempuan semakin tinggi, termasuk menjadi peneliti.
1. Kultur yang menomorduakan perempuan Arief mengungkapkan, perempuan Indonesia punya semangat tinggi untuk berpendidikan, namun masih sangat menghormati kultur patriarki. Kultur yang terinternalisasi di masyarakat inilah, yang lantas membuat perempuan dinomorduakan untuk akses pendidikan. Sayangnya, kultur ini juga diikuti dan bahkan diterima oleh masyarakat luas sebagai sesuatu yang wajar, bahkan oleh perempuan itu sendiri.
2. Sistem struktur sekolah kurang memberikan kesempatan bagi perempuan Banyak pendapat masyarakat yang menunjukkan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Perempuan hanya diberi porsi berbagai peran domestik, di rumah tangga. Lebih berbahayanya, virus ini masih juga meluas di sekolah.
"Pendapat yang mengatakan perempuan tak perlu sekolah tinggi menjadi virus yang masih menyebar di sekolah, dalam sistem struktur sekolah," papar Arief kepada Kompas Female, usai acara temu kangen para fellow.
3. Lemahnya kesetaraan gender Kesetaraan gender belum diusung berbagai kebijakan yang ada pada lembaga negara. Akhirnya perwujudan kesetaraan gender masih lemah. Diperlukan resolusi politik yang mendukung dan mengusung kesetaraan gender yang tertuang dalam kebijakan lembaga negara.
"Peraturan di daerah misalnya, masih banyak yang belum mengusung kesetaraan dan keadilan gender dari segi gaji perempuan dan lelaki. Cuti kepada lelaki saat istri melahirkan juga belum diusung dalam peraturan daerah, padahal peran ayah dibutuhkan pada masa melahirkan," papar Arief.
4. Manajemen rumah tangga belum seimbang, perempuan lebih mengalah
Perempuan cenderung mengalah untuk mengurus anak dan keluarga. Akhirnya, keinginan untuk meraih gelar S2 atau S3, misalnya, tertunda atau bahkan dibatalkan demi peran sebagai ibu.
Arief menegaskan, dengan adanya manajemen rumah tangga yang lebih baik, perempuan dan lelaki memiliki kesempatan yang sama. Baik dalam mengurus rumah tangga maupun dalam mengembangkan dirinya. Untuk bersekolah, misalnya.
5. Kesepakatan pasangan yang melemahkan perempuan Saat masih berpasangan, pada kasus tertentu, kata Arief, masih terdapat perempuan yang terbatasi untuk mengembangkan diri. Misalnya, pria akan menikahinya, dengan memberi syarat ia harus mengurus rumah tangga saja.
Kesepakatan pasangan yang dibuat sebelum menikah, bahkan menjadi syarat menikah, lantas membuat perempuan terbatasi geraknya. Masalah semacam ini tidak lantas terjadi pada setiap orang, dan sifatnya berbeda setiap kasus. Prinsipnya, ada kesepakatan tertentu yang dibuat untuk perempuan yang kemudian membatasi ruang gerak dan kemandiriannya untuk berkembang.
"Persoalan kesetaraan gender perlu diatasi tidak hanya dari sisi kultural, namun juga perlu ada kebijakan yang tertuang dalam struktur," jelas Arief.
Menurut Arief, lembaga negara mengambil peranan penting untuk menyebarkan virus kesetaraan gender lebih meluas. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak misalnya, memiliki peran strategis untuk memberikan inspirasi dalam menumbuhkan kultur yang lebih adil dan setara, mengenai peran perempuan dan lelaki, tambahnya.