Shabaaaahal khaaaiiiiiirrr!! Yak, setelah 3 bulan liburan di Indonesia tercinta, akhirnya saya kembali ke rumah kedua, Qatar! Well, agak berat memang, karena kembali harus meninggalkan comfort zone dan berpisah dengan orang-orang yang saya cintai. Tapi ya inilah hidup. Tidak semua hal yang kita inginkan bisa terwujud. Terkadang, untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar, kita harus mengorbankan sesuatu juga. There is no growth in a comfort zone and there is no comfort in a growth zone. I must leave my comfort zone to grow.
Tanpa terasa sudah dua minggu Lebaran berlalu, namun suasananya masih terasa hingga sekarang. Lebaran memang menjadi momen yang sangat penting, karena di hari itu banyak badan-badan yang jadi lebar-an hehe.. Kalo saya ibaratkan bisnis, lebaran itu balik modalnya cepet banget, bahkan plus profit! Setelah turun sekitar 3-4 kilo selama sebulan puasa, langsung naik 5 kilo pas lebaran! :D
Tradisi yang berkembang di negara kita saat lebaran datang adalah saling bersilaturahmi dan memaafkan satu dengan yang lainnya. Meskipun sebetulnya bermaaf-maafan bukan hanya terjadi pada saat lebaran, tapi tentunya ini merupakan hal yang baik bahwa paling tidak, setahun sekali kita saling menjalin silaturahmi dan memaafkan. Untuk itu, saya ingin membahas tentang indahnya memaafkan di @NotesFromQatar edisi Jumat ini. Mumpung masih Bulan Syawal, jadi ga telat-telat banget…. Here we gooo!
Apel dan Kebencian
Alkisah, seorang ibu guru SD mengadakan permainan. Beliau meminta para muridnya untuk membawa sekantong plastik transparan berisi apel. Jumlah apel yang dibawa harus sesuai dengan jumlah orang yang dibenci dalam hidupnya. Jadi kalo benci dengan 3 orang ya bawa 3 apel, dst. Setiap anak bebas membawa berapa pun jumlah apel yang diinginkan.
Keesokan harinya, para murid dengan riang gembira membawa sekantong plastik transparan yang sudah berisi beberapa buah apel. Ada yang bawa 1, 5, 7, bahkan 10! Mereka udah seneng aja, mengira bahwa apel-apel yang dibawa akan segera dimakan, seolah-olah memakan orang yang dibenci. Nyaaammm!! Namun ternyata hal yang diharapkan tidak terjadi. Bukannya dimakan, namun kantong berisi apel-apel tersebut harus dibawa kemana saja anak-anak itu pergi selama 1 minggu, bahkan saat ke toilet sekalipun.
Hari berganti hari, apel yang tadinya segar pun beberapa mulai membusuk, yang lama kelamaan mulai mengeluarkan bau yang menyengat. Murid yang hanya membawa 1 atau 2 apel tentunya lebih beruntung dibanding yang bawa 5 atau lebih, meskipun sama ga enaknya juga. Murid yang bawa 10 apel hampir pingsan di hari ke-5 karena ga tahan dengan bau busuk yang menyengat.
Setelah 1 minggu, permainan pun usai. Murid-murid dipersilahkan untuk membuang kantong berisi apel-apel tersebut, dan mereka pun sangat lega dan senang. Bu guru lalu menanyakan kepada para muridnya, “Hi jama’aaah, gimana rasanya bawa apel busuk selama 1 mingguu??” Tanpa dikomando, keluhan dan kekesalan langsung bermunculan. Jawaban semuanya hampir sama, bahwa mereka sangat merasa tidak nyaman karena harus bawa apel busuk.
Bu guru pun dengan tersenyum menjelaskan, “Seperti itulah kondisinya jika kebencian selalu kalian bawa di dalam hidup.” Semakin kalian pendam kebencian itu, semakin tidak nyaman diri kalian. Bukan orang yang kalian benci tersebut yang akan merasakan dampaknya, melainkan diri kita sendiri. Sungguh tidak nyaman bukan jika setiap hari harus membawa apel busuk bernama kebencian kemanapun kita pergi?
Dalam permainan tersebut, apel busuk itu hanya dibawa 1 minggu. Coba bayangkan kalo harus membawanya selama 1 bulan? Atau mungkin 1 tahun? Bisa pingsan dan masuk rumah sakit kayanya hehehe. Begitu juga dengan kebencian, yang akan membuat diri kita tidak nyaman. Apa mau kita membawa kebencian seumur hidup, bahkan sampai mati?
Karena itu, ikhlaskan hati dari kebencian untuk memaafkan orang-orang yang pernah berbuat salah kepada kita, sama persis dengan keikhlasan murid-murid SD saat membuang apel-apel busuk tadi. Karena ketika kita tidak mau memaafkan orang yang kita benci, itu sama saja dengan memegang bola berduri yang akan membahayakan diri kita sendiri.
Mengapa Memaafkan?
Siapa di antara kita yang tidak pernah melakukan kesalahan? Coba ngacung tinggi-tinggi bagi siapa saja yang belum pernah melakukan kesalahan dari mulai lahir sampe sekarang. Pastinya ga ada kan? Siapa pun kita, baik tukang becak sampai presiden sekalipun, pasti pernah melakukan kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan atau apapun itu namanya. Manusia memang tempatnya salah dan dosa.
Rasulullah saw pun pernah berbuat kesalahan. Saat itu dikisahkan bahwa beliau bermuka masam saat menerima kedatangan tamu seorang buta yang bernama Abdullah bin Ummi, karena sedang menjamu para pembesar suku Quraisy. Padahal, kedatangan sang buta tersebut adalah ingin belajar tentang Islam. Atas sikap beliau ini, Allah Swt sendiri yang langsung menegur beliau yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat ke-80, ‘Abasa.
Nah, kalo seorang nabi saja yang sebetulnya terbebas dari dosa tapi tetap pernah melakukan kesalahan, apalagi kita??? Karena itulah, jika kita sadar bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa, maka sudah sepantasnya kita juga bisa menjadi seorang yang mudah untuk meminta maaf dan juga mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Mana lebih sulit, meminta maaf atau memaafkan? Kalo menurut saya, memaafkan lebih sulit dibanding meminta maaf, karena disana ada keikhlasan. Mahatma Gandhi pun pernah mengatakan, “Hanya orang kuat yang mampu memaafkan orang lain”.
Sungguh, memaafkan adalah perbuatan paling indah yang dapat dilakukan manusia di muka bumi. Allah Swt pun sangat menyukai hamba-hambaNya yang pemaaf. Di dalam Al-Quran juga sudah tertera perintah untuk saling memaafkan. “Jadilah engkau pribadi yang pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Araf (7): 199)
Teman-teman yang tampan dan cantik, pastinya kita sering mendengar ada orang yang merasa hidupnya tidak bahagia dan penuh beban. Namun, ia sendiri tidak bisa menemukan apa penyebabnya. Tidak banyak orang yang sadar bahwa sebenarnya penyakit yang dia rasakan itu bukan bersumber dari siapa-siapa, melainkan dirinya sendiri. Lebih tepatnya lagi, bersumber dari hatinya.
Mengapa hati? Karena di situlah tersimpan berbagai macam rahasia manusia. Rasulullah saw pun pernah mengatakan, “Di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika baik, maka baik seluruh tubuh. Jika rusak, maka rusak seluruh tubuh. Itu adalah hati.”
Saat hati kita bersih dan bisa menerima segala ketentuan Allah, maka dampak yang dirasakan langsung ke seluruh tubuh. Muka jadi ceria, hati gembira, dan menjalani hidup dengan suka cita. Tapi jika hati kita kotor, banyak menyimpan dendam terhadap orang lain, dst, maka bisa dipastikan muka kita akan terlihat gelap dan mengerikan, dan hidup kita pun tidak akan jauh dari kebencian.
Nah sekarang pertanyaannya adalah, darimana datangnya kebencian di dalam hati? Jawabannya adalah dari rasa sakit hati. Saat orang berbuat jahat kepada kita, ada dorongan yang sangat kuat untuk tidak bisa menerima perlakuan orang tersebut, dan berakibat timbulnya rasa sakit hati di dalam diri. Tanpa sadar, rasa sakit hati itu terus menerus menjelma menjadi rasa marah yang tidak ada ujungnya.
Rasa marah lalu akan mendorong si empunya hati untuk memunculkan rasa benci kepada seseorang yang telah menyakitinya. Nah kalo sudah timbul rasa benci, maka kita tidak akan pernah bisa memandang orang yang dibenci dengan perasaan positif. Apapun yang dilakukan orang tersebut pasti akan terlihat salah, meskipun mungkin orang itu sudah berusaha berlaku baik terhadap kita.
Kalau sudah seperti itu, maka tidak akan ada lagi rasa cinta kepada orang yang dibenci sehingga tidak tampak lagi kebaikan di mata kita. Dampaknya adalah, kita selalu ingin melihat orang yang dibenci itu menderita hidupnya. Naudzubillah jangan ampe deh hidup kita kaya gitu. Hilangkan jauh-jauh budaya SMS: Senang Melihat orang Susah dan Susah Melihat orang Senang. Setuju bos-bos semuaa?
Memaafkan memang membutuhkan kematangan diri dan kematangan spiritual. Kematangan diri bisa didapatkan dari keterbukaan hati dan pikiran dalam menyikapi pengalaman hidup. Sedangkan kematangan spiritual didapatkan saat seorang hamba sudah semakin dekat dengan Allah Swt dan memiliki rasa keikhlasan yang luar biasa. Bagi orang-orang yang gemar memaafkan, maka Allah Swt menyediakan pahala yang utama sebagai balasan atas sikap mulia mereka.
Bagi mereka yang mempunyai keluhuran akhlak, mereka bukan hanya mampu memaafkan kesalahan orang lain, melainkan juga membalas kejahatan yang diterimanya dengan kebaikan yang tak pernah dibayangkan oleh sang pelaku. Allah Swt berjanji bahwa yang demikian itu justru akan membuat tali silaturahim makin kencang. “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang berada di antaramu ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi sahabat yang sangat setia.” (QS. Fushilat [41]: 34)
Rasulullah Itu Pribadi Pemaaf
Tidak ada yang menyangsikan fakta bahwa Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang sangat mulia di muka bumi. Beliau adalah seorang pemimpin yang sangat sukses dan juga dicintai oleh seluruh pengikutnya. Kekuasaan dan pengaruh beliau sangat besar bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini. Bahkan Michael Heart, seorang non-muslim pengarang buku “100 Orang Paling Berpengaruh Di Dunia”, menempatkan Nabi Muhammad saw di urutan pertama dalam daftar ini. Hingga sekarang, buku tersebut masih menjadi rujukan utama para ahli sejarah dan tidak ada yang mampu membantahnya.
Meskipun Rasulullah seorang pemimpin yang sangat kuat, berpengaruh dan bisa melakukan apapun yang diinginkan, namun salah satu sifat mulia yang khas dari beliau adalah pemaaf. Rasulullah adalah sosok pribadi yang sangat mudah memaafkan pihak lain. Karena beliau adalah suri tauladan bagi manusia, maka tentu saja itu berarti bahwa pemaaf adalah sifat yang diharuskan bagi kita semua, jika ingin sukses dunia dan akhirat. Kisah-kisah melegenda tentang keutamaan akhlak pemaaf yang mengantarkan beliau pada derajat manusia terbaik, terukir indah dalam sejarah peradaban umat manusia.
Pada saat terjadinya peristiwa Fathul Makkah (pembebasan kota Makkah) yang berhasil dimenangkan oleh kaum Muslim, timbul kekhawatiran luar biasa dari seluruh kaum kafir Quraisy. Mereka sangat khawatir Rasulullah saw, sebagai pemimpin tertinggi saat itu, akan membalas semua perbuatan jahat yang telah dilakukan kepada kaum Muslim. Abu Sofyan sebagai pemimpin tertinggi kaum Quraisy saat itu mendatangi Rasulullah untuk meminta pengampunan. Respon beliau saat mendengar permohonan itu adalah langsung memaafkan seluruh kaum Quraisy tanpa syarat apapun, dan mereka dijamin keamanannya dalam lindungan Islam.
Ada lagi kisah lain, Nabi Muhammad saw pernah berhutang kepada seorang Yahudi bernama Sa’ad bin Sya’nah. Jatuh tempo pembayaran masih tiga hari lagi. Tetapi Sa’ad menagih sebelum jatuh tempo. la mencari Nabi dan bertemu di jalan. Sa’ad langsung memegang selendang Nabi dengan keras dan berkata, “Kamu telah lalai membayar hutang”. Melihat kejadian itu, seperti biasa Umar bin Khattab langsung panas dan langsung mengeluarkan pedang (namanya juga jagoan hehe..). Rasulullah pun mencegah Umar dan sambil tersenyum beliau berkata, “Saya memang mempunyai hutang kepada Sa’ad”.
Rasulullah menambahkan, “Sikap kamu yang lebih tepat wahai Umar adalah menyuruhku untuk membayar hutang dan menyuruh dia menagih hutang dengan cara yang baik. Sebenarnya, jatuh tempo hutang masih tiga hari lagi. Tapi baiklah, tolong bayarkan utang itu dan tambahkan beberapa dirham agar hilang kemarahannya”. Melihat sikap pemaaf dan pemurah Rasulullah saw, Sa’ad menjadi malu dan terpesona. Dia langsung menyatakan masuk Islam.
Begitulah keindahan dan kehebatan Rasulullah saw. Sejarah juga mencatat, pada peristiwa Perang Salib, ketika Raja Richard yang dikenal sebagai Lion Heart itu jatuh sakit, yang artinya dalam posisi yang amat lemah, lalu Shalahuddin Al Ayyubi, sang panglima kaum Muslim, mengumumkan dengan meminta pasukan Islam yang dipimpinnya untuk menghentikan perang, memberi kesempatan sang raja agar sembuh dulu, baru nanti peperangan dilanjutkan. Keren kan? Coba kalo kita yang lagi berantem, tau musuh sakit pasti makin menjadi-jadi dan bersemangat untuk menghajar, sambil dalam hati bilang, “kesempatan bagus nih!” hahaha..
Memaafkan Itu Menyehatkan
Banyak psikolog yang telah melakukan riset bahwa memaafkan orang lain dengan tulus ikhlas akan mampu meringankan beban yang menggelayuti hidup. Hidup pun akan menjadi lebih ringan, lebih bahagia dan lebih ikhlas dalam menerima. Tidak ada lagi rasa dendam ataupun sakit hati. Pernah diadakan suatu riset oleh Worthington Jr, yang dimuat di majalah Readers Digest edisi Indonesia. Percobaannya adalah dengan menggunakan piranti pencitraan otak, dua orang manusia (yang satu bersikap memaafkan dan yang satu lagi tidak memaafkan alias pendendam) direkam pola gambaran otaknya.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa orang yang bersikap tidak memaafkan memiliki kecenderungan peningkatan kekentalan darah, ketegangan otot, dan tekanan darah yang tidak stabil, sama persis seperti orang yang sedang stress. Istilah kerennya, seperti orang yang sedang galau. Dampaknya sangat luar biasa, mengganggu sistem kerja tubuh dan kesehatan orang tadi. Sementara kondisi yang terjadi pada diri orang yang memaafkan adalah sebaliknya, yaitu tekanan darah yang stabil dan kinerja tubuh yang optimal.
Kesimpulan dari percobaan adalah, sikap tidak mau memaafkan dapat memicu gangguan kesehatan. Kondisi tersebut akan memperhebat reaksi jantung dan pembuluh darah ketika dia mengenang peristiwa buruk yang dialami. Sebaliknya, sikap memaafkan dengan tulus ikhlas akan membuat reaksi jantung normal dan sehat sehingga pembuluh darah dapat bekerja secara optimal dan peredaran darah menjadi lancar.
Secara psikologis pun, yang mendapatkan keuntungan dari sikap memaafkan orang itu adalah pihak yang memaafkan, bukan yang dimaafkan. Lho kok bisa? Ya bisa dong… Bukankah benci itu suatu beban yang memberatkan dan menyusahkan diri? Rasa benci itu seperti luka, yang kalo hanya dipelihara dan tidak pernah disembuhkan, maka lambat laun luka itu akan semakin mengerikan, bisa keluar nanah dsb.
Dan jika kebencian itu telah berubah menjadi sebuah dendam, weleh welehh.. gaswatt! Ga akan ada habisnya. Coba aja tonton film-film mafia yang kerjaannya bales-balesan bunuh-bunuhan satu sama lainnya. A dibunuh sama B. Anaknya A ga terima, bunuh si B. lanjut lagi, anak B ga terima, dibunuh lagi tuh anaknya A. Neneknya anak si A ga terima, dibunuh lagi tuh anaknya si B, dst. Ga bakalan ada ujungnya, sama kaya sinetron ‘tersanjung’ nanti hehehe..
Itulah yang akan terjadi bila kebencian telah berubah menjadi dendam yang menuntut balas, maka luka itu semakin dalam dan tidak akan pernah terselesaikan sebelum dendam itu terbalaskan. Namun ketika dendan telah terbalaskan, benarkah luka itu akan hilang? Pengalaman mengatakan: “tidak”, justru kebencian dan permusuhan akan semakin meningkat, seperti kisah mafia A dan B yang saya ceritakan di atas tadi.
Jadi, sangat terbukti bukan bahwa memaafkan itu sesungguhnya terapi yang sangat baik untuk kesehatan diri kita sendiri dan bukan orang lain? Dengan memaafkan, hati akan menjadi tenang, beban hidup pun berkurang, dan kehidupan akan jauh lebih baik. Bila dendam dan kebencian telah hilang, maka bisa dibayangkan betapa sehat dan nyamannya hidup ini. Orang yang memelihara kebencian sama saja dengan memelihara penyakit. Bukankah itu suatu tindakan yang konyol dan bodoh?
The Power of Forgiveness
Memaafkan itu sangat powerful. Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada taqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 237). Dalam ayat lain, “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apa kamu tidak ingin Allah Swt mengampunimu?” (QS. An-Nuur [24]: 22). Rasulullah pun pernah berkata, “Seseorang tidak dikatakan kuat karena dapat membanting lawan-lawannya. Tapi orang yang kuat adalah ia yang mampu menahan emosinya pada saat marah.” (HR. Bukhari)
Saat kita memaafkan orang lain, sebetulnya kita tidak melakukannya untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri. Banyak yang berpikir, saat kita memberikan maaf terhadap orang yang sudah menyakiti atau menzhalimi kita, maka seolah-olah kita kalah tanpa perlawanan. Padahal, saat kita memberikan maaf, disitu lah kemenangan yang kita dapatkan karena berhasil mengundang rasa tenang masuk ke dalam diri dan mengalahkan ego yang bisa merusak kesehatan tubuh, baik jasmani maupun rohani.
Maafkanlah orang-orang yang telah berbuat jahat tanpa syarat apapun, agar kita bisa menjadi orang-orang yang ikhlas. Dengan membuka mata, hati dan pikiran, serta memiliki keinginan kuat, maka memaafkan menjadi hal yang sangat mudah dilakukan. Setiap orang bs memaafkan. Seperti slogan salah satu maskapai penerbangan, ”Now everyone can fly”. Maka sama juga, “Now everyone can forgive”.
Allah Swt pun telah berjanji akan menambahkan kemuliaan bagi hamba-hambaNya yang memiliki sifat suka memaafkan. “Tidak ada yang Allah tambahkan untuk hamba-Nya yang memaafkan kecuali tambahan kemuliaan.” (HR. Muslim)
Dan akhirnyaaa… Kalau Allah Swt saja, Tuhan seluruh penguasa alam semesta, bisa memaafkan hamba-hambaNya yang berbuat salah dan durhaka kepadaNya, masa kita ga bisa memaafkan kesalahan orang lain??