Cinta, satu kata yang bisa mengungkap banyak makna. Cinta sering datang
begitu saja tanpa mengetuk pintu hati seseorang, tiba-tiba dia tumbuh dan
berkembang tanpa permisi. Saat cinta itu bersemi, rasanya semua kebahagiaan di
dunia hadir dalam hidupku.
***
Kisah ini dimulai saat aku masih berusia 13 tahun, aku masih tinggal di
sebuah kota kecil di Jawa Barat. Aku adalah anak perempuan yang pemalu, apalagi
dalam usia itu, aku mengalami puber dan agak merasa aneh jika dekat-dekat
dengan para pemuda, seperti anak usia puber pada umumnya.
Di depan rumahku, ada keluarga yang baru pindah, kira-kira baru tiga
minggu. Aku tahu bahwa salah satu anak mereka berusia hampir sama denganku,
namanya Yoga. Remaja di tahun 1990 tidak seperti remaja sekarang yang lebih
mudah berekspresi, remaja di tahunku lebih malu-malu dan menjaga sikap.
Begitulah yang aku alami, aku sedikit penasaran dengan Yoga, tetapi hanya
berani melihat dari jauh. Kadang aku sengaja menyiram halaman rumah saat sore
hari hanya untuk melihat kedatangannya sepulang dari sekolah.
Saat itu aku tidak mengerti apa yang aku rasakan, jantungku rasanya
melompat di tempat saat aku melihat senyumnya. Aku benar-benar polos saat itu,
aku sempat berpikir jangan-jangan Yoga mengirim guna-guna untukku. Tetapi itu
hanya pikiran polos anak perempuan yang baru pertama kali merasakan jatuh
cinta.
Pada satu pagi yang cerah, aku sendirian di rumah, keluargaku menjemput
nenek di bandara dan badanku agak demam, sehingga aku memutuskan tidak ikut.
Tiba-tiba pintu rumahku diketuk, dan pemuda yang berdiri di depan rumah adalah
Yoga. Kakiku rasanya lemas seketika, tetapi aku berusaha tersenyum. Aku melirik
sebuah nampan berisi dua piring nasi goreng yang dibawa Yoga.
"Aku baru memasak nasi goreng, tapi kebanyakan," ujarnya.
"Kamu mau membantu menghabiskannya?"
Aku mengangguk pelan, kemudian aku mempersilakan Yoga duduk di teras
rumah. Tidak perlu menunggu waktu lama, Yoga mulai bercerita kalau nasi goreng
itu adalah eksperimen pertamanya dalam dunia memasak.
"Tadi aku lapar, ayah dan ibu belum pulang dari dinas luar
kota," ujarnya sambil mengunyah nasi goreng.
Aku lebih banyak tersenyum dan mengangguk pelan. Jujur, aku malu. Entah
malu kenapa, yang pasti aku malu, tetapi juga senang karena bisa duduk di
samping Yoga.
"Enak tidak?" tanyanya.
"Enak," jawabku sambil memberanikan diri menatap wajah Yoga
sambil tersenyum. Padahal, jujur saja, aku merasa nasi goreng itu sedikit
hambar. Tak apa, ini adalah nasi goreng terenak yang pernah aku nikmati.
Hanya begitu saja, aku bisa merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta.
Memang, mungkin banyak orang yang menyebutnya cinta monyet. Tetapi aku bisa
merasa nyaman di samping Yoga, mendengar ceritanya, senyum hangatnya, dan
mungkin dia tidak sadar bagaimana jantungku seperti mau lepas dari tempatnya.
Sayang, aku belum sempat mengenal Yoga lebih jauh. Hanya 2 bulan setelah
seporsi nasi goreng itu, keluargaku harus pindah ke Sulawesi, pemerintah sedang
menggalakkan program transmigrasi. Mau tidak mau, aku berpisah dengan Yoga.
Dia adalah cinta pertamaku dan selamanya,..
***
Di awal tahun 1990, sangat sulit untuk melakukan komunikasi, apalagi
keluargaku ditempatkan di sebuah kota yang sangat kecil, sebagian penduduk
belum mendapat listrik, tidak ada telepon, kantor pos juga jauh dari jangkauan.
Aku terpaksa melupakan ide untuk berkirim surat pada Yoga. Orang tua memintaku
untuk fokus pada pendidikan, sekolahku sangat jauh dari tempat tinggal keluarga
kami, harus menempuh perjalanan satu jam lebih. Maka sedikit-demi sedikit, aku
merelakan untuk tidak berkomunikasi kembali dengan Yoga.
Tahun demi tahun berlalu, aku tumbuh menjadi wanita dewasa yang mandiri,
bekerja di sebuah perusahaan kosmetik dan sudah berusia lebih dari 27 tahun.
Ibuku sudah memintaku untuk segera mengakhiri masa lajang, tetapi entah
mengapa, aku tidak pernah merasa nyaman saat menjalin hubungan asmara dengan
beberapa pria. Mereka adalah pria-pria yang baik, mereka mencintaiku, tetapi
aku masih berada dalam bayang-bayang Yoga.
Aku tahu, apa yang aku rasakan mungkin terlihat bodoh. Ada keyakinan
dalam diriku bahwa Yoga adalah jodohku, walaupun aku hanya mengenalnya beberapa
bulan, walaupun usiaku saat itu masih 13 tahun, dan hanya dengan sepiring nasi
goreng. Bahkan aku tidak tahu bagaimana perasaan Yoga kepadaku, dia tidak
pernah mengatakannya, aku juga tidak pernah mengatakan perasaanku pada Yoga.
Entah apa namanya, tetapi aku yakin Tuhan akan menuntunku sekali lagi
untuk bertemu Yoga. Aku selalu berdoa agar dipertemukan sekali lagi dengannya.
Walaupun mungkin cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan, atau mungkin dia
sudah menikah, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku pernah menyimpan sebongkah
hati untuknya.
Hanyalah dirimu..
mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah..
kau tak akan terganti
Sepenggal lagu tersebut bisa menggambarkan bagaimana perasaanku, yang
tidak dimengerti orang lain, dan yang dianggap buang-buang waktu oleh
sahabat-sahabatku.
***
Di usiaku, banyak undangan pernikahan yang seolah tak ada habisnya. Kali
ini yang menikah adalah bawahanku di kantor. Hari itu, aku datang seorang diri.
Seperti pesta pernikahan pada umumnya, banyak orang yang datang, sebagian besar
tidak kukenal. Karena aku datang sendiri, aku berbincang dengan kumpulan teman-teman
kantorku. Kami menyempatkan diri berfoto bersama sang mempelai, lalu aku
memutuskan untuk pulang.
Kemudian hal yang sangat tak terduga terjadi.. Di tempat parkir, seorang
pria menarik tanganku. Aku terkejut, tetapi aku seperti mengenalnya, entah
siapa.
"Kamu.. Adelia kan? Yang dulu tinggal di jalan Merbabu dan suka
pura-pura menyiram bunga padahal menunggu aku pulang sekolah,"
Rasanya jantungku berhenti berdetak.
"Yoga?" tanyaku, mungkin wajahku pucat saat itu karena aku
seperti tidak merasakan jantungku berdetak.
Pria itu mengangguk. Dia bukan lagi pemuda dengan tinggi yang sama
denganku, sekarang dia jauh lebih tinggi, tampak lebih berwibawa, tulang rahang
yang lebih tegas, dan senyum itu.. senyum itu tetap hangat, senyum yang selalu
aku rindukan.
"Masih suka bikin nasi goreng yang kebanyakan?" tanyaku dengan
senyum yang lepas, dan ternyata aku masih hidup.
Yoga mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Aku kangen nasi goreng buatanmu," ujarku tanpa peduli banyak
orang menatap kami.
"Yaa.." ujarnya dengan suara kecewa, "Masa kamu kangen
nasi gorengnya doang, nggak kangen dengan yang bikin nasi goreng?"
Aku tersenyum dan meninju pelan lengannya.
Kisah itu terulang lagi. Sekali lagi aku merasa jatuh cinta dengan cara
yang sederhana. Aku menganggap kejadian ini sebagai keajaiban. Kali ini, aku
tidak mau kehilangan Yoga, terlebih lagi setelah aku tahu bahwa dia masih
single.
***
Yogyakarta, 16 November 2008
Hari ini, tepat beberapa jam lagi, aku akan menikah dengan Yoga.
Penantianku tidak sia-sia. Hanya butuh beberapa bulan bagi kami untuk
memutuskan menikah. Setelah pertemuan kami hari itu, Yoga bercerita kalau
sebenarnya dia juga merasakan hal yang sama denganku belasan tahun yang lalu.
Tetapi pada akhirnya, kami kembali dipertemukan. Aku kembali bisa mencicipi
nasi goreng buatannya yang sudah tidak hambar. Dan yang pasti, kami sudah
saling memiliki cinta yang abadi, yang datang dengan cara yang sederhana.
Semoga.. selamanya.
Ketika seseorang membawa cinta untukmu,
selalu ada keajaiban di dalamnya.