Sejak awal, keluarga Devi menolak kehadiran
Mario. Ia berasal dari keluarga yang biasa saja, tidak populer dan bukan
keluarga terpandang. Keluarganya khawatir bahwa Mario tak dapat membahagiakan
Devi kelak, sehingga akhirnya cinta mereka berdua harus disembunyikan dari
semua orang di sekelilingnya.
Karena tekanan keluarga tersebut Devi menjadi
ragu akan cinta Mario. "Sebesar apakah cintamu padaku?" tanyanya
suatu hari pada Mario. "Aku tak pandai berkata-kata, tetapi suatu saat
nanti kau akan tahu sebesar apa cintaku..." kata Mario. Jawaban itupun
membuat Devi jadi semakin bimbang. Ia berpikir, mungkin keluarganya benar.
Mungkin ia harus merelakan cintanya dengan Mario dan tidak berusaha
mempertahankannya lagi.
Kemarahan Devi terhadap jawaban Mario
membuatnya tak ingin bertemu lagi dengannya. Ia mengacuhkan Mario dan
membuatnya menderita rasa pedih karena patah hati.
Tak lama kemudian, Mario memutuskan untuk
mengejar pendidikan ke luar daerah. Meninggalkan kota asalnya dan berusaha menyembuhkan
lukanya.
***
Lima tahun berlalu, sekalipun Devi merasa
kecewa terhadap Mario, ia tak bisa melupakannya walau sedetik saja. Di dalam
hati, cintanya terhadap Mario masih kokoh tertanam di sana.
Teringat pada sebuah cafe kecil tempat mereka
biasa bertemu diam-diam, Devipun tertegun. Tanpa disadari sebuah mobil melaju
kencang di depannya. Mobil yang dikendarainyapun tak sanggup menghindar. Ia
dilarikan ke rumah sakit dan harus mendapat penanganan serius.
"Ia sudah melewati masa krisisnya, bu.
Tetapi ia akan kehilangan suara, selamanya..." jelas dokter menghancurkan
hati kedua orang tua Devi. Sejak saat itupun Devi lebih banyak memilih
menyendiri. Usulan orang tua untuk pindah ke desapun diterimanya.
***
Hari itu sahabat Devi datang membawa sebuah
amplop. Sambil bercerita girang ia tak mempedulikan Devi yang masih terbengong
mendengar kata Mario. "Kamu tahu nggak sih ternyata Mario sudah pulang
sebulan lalu. Aku juga kaget waktu menerima undangan ini, makanya aku
cepat-cepat menyetir mobilku ke sini. Dia ingin aku menyampaikan amplop
undangan pernikahannya." kata sahabatnya.
Devi tertegun. Air matanya mengalir deras dan
ia kesal karena ia tak dapat berkata apapun. Ia hanya bisa menyimpan semuanya
dalam hati. Berlarilah ia ke halaman dan duduklah ia di bawah pohon tempat ia
biasa melamun. Dibukanya amplop berwarna biru terang itu perlahan. Ia sudah
pasrah dan akan rela menerima kecewa yang pantas diterimanya.
Tak terbayangkan. Saat ia membuka undangan
tersebut, namanyalah yang tertera di sana. Dengan undangan tersebut, Mario
melamarnya. Memintanya menjadi mempelai baginya minggu depan nanti. Devipun
akhirnya tahu bahwa Mario telah mempersiapkan semua tetek bengek pernikahan
dalam waktu sebulan ini. Ia juga tahu benar bagaimana kondisinya lewat
sahabatnya.
"Dan inilah jawaban pertanyaanmu hari
itu. Inilah besarnya cintaku padamu..." suara Mario mengagetkan dari
belakang.
Berlarilah Devi dan memeluk Mario erat. Dengan
bahasa isyarat yang telah dipelajarinya, ia mengucapkan "Aku mencintaimu,
Mario..."