Saat kecil, seperti anak-anak yang lain, aku
selalu dekat dengan ayah dan ibu. Semua hal aku ceritakan pada mereka. Aku
sering memeluk mereka, mencium pipi mereka, begitu juga sebaliknya. Hingga
tahun demi tahun, usiaku bertambah. Seperti ada penghalang tak terlihat yang
membuatku semakin jauh dari ayah dan ibu.
Entahlah, mungkin karena dorongan masa puber,
bahwa aku bukan anak-anak lagi, aku bebas menentukan apa yang aku mau. Saat
usiaku masih 14 atau 15 tahun, aku merasa kedua orang tuaku terlalu mengatur,
tidak boleh ini, tidak boleh itu. Anak puber menjelang remaja punya emosi yang
belum stabil, akupun demikian, aku tidak suka diatur, bahkan oleh orang tuaku
sendiri.
Hal ini terus berlangsung hingga aku duduk di
bangku SMA. Setiap pulang ke rumah, aku langsung masuk ke kamar, memutar musik
dengan suara keras. Aku hanya keluar kamar untuk mandi atau ke toilet. Bahkan
aku baru mau makan jika tidak semeja dengan orang tuaku. Aku menghindari
mereka, aku malas diceramahi, aku malas dilarang-larang, aku tidak peduli
dengan mereka. Bahkan saat ayah mengatakan ingin bicara, aku cuek saja.
Kehidupanku terus begitu hingga menjelang hari kelulusan SMA.
Pada suatu malam, aku tidak sengaja satu meja
makan dengan ayah. Aku tidak berani memandang matanya, atau lebih tepatnya, aku
tidak peduli dengan ayah. Entah kenapa, aku membenci suasana pada saat itu.
"Kamu tidak apa-apa, nak?" tanya
ayah.
Aku menjawab tanpa menatap wajahnya, bahwa aku
tidak apa-apa.
"Setiap malam, setelah ayah pulang dari
kantor, kamu selalu berada di dalam kamar," lanjut ayah, aku mendengar ada
getar dalam suaranya, seperti bukan ayah yang dulu sering bermain bersamaku.
"Fitri, ayah kangen dengan anak perempuan ayah yang dulu. Sekarang kamu
seperti menjauh dari kehidupan ayah dan ibu,"
Aku masih belum berani menatap ayah. Setelah
beberapa saat, aku mendengar isak tangis. Ayah yang selama ini aku anggap
sebagai pria yang sekuat baja, ternyata bisa mengeluarkan air mata. Aku tidak
kuasa untuk tidak melihat wajahnya. Aku seperti tertampar, ayah benar-benar
menangis hingga pipinya basah.
Selama 17 tahun, aku tidak pernah melihat
ayahku menangis. Aku bisa melihat gurat lelah di wajahnya, penderitaan dalam
matanya, dan itu semua karena aku. Aku menjauhi kedua orang tuaku tanpa alasan
yang jelas. Rasanya dadaku sesak melihat wajah ayah. Semua ini salahku. Aku
tahu bahwa ini adalah salahku.
Dengan
tenggorokan seperti tercekat, aku memberanikan diri untuk mengucapkan beberapa
kata. "Jangan menangis ayah, maafkan aku," ujarku dengan suara
terbata-bata. Tanpa terasa, ada air mata yang meleleh di pipiku.
Tahun demi tahun terbuang begitu saja. Ayah
bercerita bahwa dia merindukan aku yang dulu, yang selalu bercerita ini dan
itu, yang selalu memeluk ayah, yang tidak pernah lupa hari ulang tahun ayah dan
ibu. Air mataku semakin deras mengalir.
Aku dan ayah sama-sama menangis. Lalu ayah
meminta maaf karena dia menangis di depanku, seharusnya seorang anak tidak
menangis di depan anaknya. Aku menggeleng, ayah tetaplah ayah, manusia yang
punya hati. Dan aku telah menyakiti hatinya teramat dalam.
Sejak saat itu, aku menyesuaikan diri dengan
keluargaku. Aku yang tadinya tidak peduli mulai menanyakan kabar ayah,
pekerjaannya, juga ibu, aku baru menyadari bahwa rambut mereka semakin putih,
semakin banyak kerutan di wajah mereka.
Aku tidak ingin melakukan hal yang sama sekali
lagi. Aku tidak tahu sampai kapan umurku, juga umur kedua orang tuaku. Aku akan
memperlakukan mereka dengan baik. Syukurlah, hubungan keluarga kami semakin
membaik hingga saat ini. Rumah kami kembali diisi canda dan tawa, ayah dan ibu
semakin sehat dan terlihat muda. Kami semua bahagia.
Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi
sahabat Vemale. Jika ada kerenggangan dengan orang tua, kenapa tidak
merekatkannya kembali, selalu ada kebahagiaan di sana, bila kita mau
mengupayakannya.