Setiap wanita memiliki naluri keibuan, aku
yakin, semua wanita ingin menjadi seorang ibu, aku pun demikian. Setelah
menikah, impian terbesarku adalah segera mengandung dan menimang buah hati. Aku
tidak sabar menanti seorang anak memanggilku dengan sebutan "Bunda,"
dan "Ayah," pada suamiku.
Bulan demi bulan berlalu, aku menunggu hingga
alat uji kehamilan menunjukkan tanda positif, tetapi impianku sepertinya masih
jauh. Hasil tes kehamilan selalu menunjukkan tanda negatif. Hingga akhirnya,
tahun demi tahun berlalu. Hingga usia pernikahanku menginjak tiga tahun, aku
belum menemukan tanda-tanda kehamilan.
Entah berapa kotak alat uji kehamilan yang
sudah aku habiskan, aku sudah tidak lagi menghitungnya. Kecemasanku semakin
memuncak, mengapa aku belum juga hamil. Padahal, teman dan keluargaku yang
menikah belakangan sudah menimang buah hati. Selama ini aku tidak merasakan
keanehan pada siklus menstruasiku, hasil pemeriksaan dokter juga baik. Suamiku
sehat, aku juga. Aku terus berharap dan berdoa.
Tidak puas hanya memeriksakan kesehatan di
satu dokter, aku dan suami mencoba dokter lain. Di sana, kami melakukan
pemeriksaan yang lebih banyak. Hingga akhirnya diketahui bahwa salah satu tumor
jinak menggerogoti indung telur bagian kanan. Dunia rasanya runtuh. Aku
menangis sejadi-jadinya saat dokter menjelaskan bahwa satu indung telurku harus
diangkat. Saat itu, rasanya harapan menjadi ibu hilang separuh. Aku masih
ingat, suamiku duduk di sampingku, menggenggam tanganku dengan erat dan
membiarkan aku menangis di bahunya.
Suamiku tahu bahwa aku akan sulit menjalani
operasi tersebut, tetapi dia meyakinkan aku bahwa yang terpenting adalah
kesehatanku. Masih ada harapan karena hanya satu indung telurku yang diangkat.
Akhirnya operasi itu berhasil, tumor itu diangkat dari tubuhku, separuh
harapanku ikut lenyap bersamaan dengan hilangnya satu indung telur.
Walaupun operasi sudah dilakukan, bulan demi
bulan berlalu dan aku belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Semua cara
sudah aku coba, mulai dari pengobatan modern hingga tradisional. Mertuaku mulai
tidak sabar dan sedikit demi sedikit menyalahkanku. Jika sudah begitu, aku
hanya bisa menangis. Sekali lagi, aku sungguh bersyukur memiliki suami
penyabar, yang tidak meninggalkanku dalam kondisi ini.
Doaku tidak pernah putus. Hingga pada akhirnya
aku memasrahkan semuanya pada Tuhan. Jika memang yang terbaik adalah kondisi
ini, aku menerimanya. Aku tidak lagi mendesak Tuhan agar segera memberiku anak.
Jujur, kadang aku menyalahkan Tuhan atas kondisiku. Kenapa harus aku yang
mengalaminya? Di luar sana, ada banyak ibu yang tega membuang bayinya.
Sedangkan aku, aku bersumpah akan merawat mereka dengan baik. Aku kembali
meyakinkan diri bahwa Tuhan tahu yang terbaik, aku tidak boleh berburuk sangka
pada-Nya.
Hingga pada suatu hari aku merasakan mual dan
pusing. Aku pikir tubuhku terlalu lelah, akhirnya aku iseng melakukan tes uji
kehamilan. Inilah keajaiban yang aku nantikan. Tanda (+) muncul di alat uji
kehamilan. Aku hampir tidak percaya, dan untuk memastikannya, aku melakukan tes
di klinik kesehatan. Hasilnya sama, positif. Aku kembali menangis, tapi kali
ini adalah tangis bahagia. Aku berjanji akan menjaga kandungan ini dengan baik
hingga dia lahir ke dunia.
Sembilan bulan berlalu dengan cepat, akhirnya
aku bisa mendengar tangis pertama buah hatiku. Buah hati yang selalu aku
rindukan. Kebahagiaanku semakin lengkap. Aku punya suami yang begitu baik dan
sabar, juga tangisan bayi yang melengkapi kehidupan kami.
Tiga tahun berlalu, putri kami tumbuh sehat
dan menjadi anak yang menggemaskan. Saat kisah ini kutulis, aku sedang
mengandung enam bulan. Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa kemungkinan
wanita sepertiku tidak akan bisa hamil terpatahkan. Keajaiban itu ada, dan aku
percaya.