Terbangun dengan kepala berat usai tangis
semalam membuatku tak ingin melakukan apapun hari itu. Segera kupungut ponsel
yang tampaknya jatuh dari tempat tidur. Kutekan tombol nomor yang kuhafal di
luar kepala. "Aku sakit, dan aku tak bisa masuk," kataku kepada
sahabat sekaligus atasanku. Dia pun berkata, "Ok, aku mengerti. You need
two days off, darling," katanya memutuskan. Ah... leganya hatiku,
setidaknya aku masih dapat melanjutkan tidur tak lelapku.
Samar-samar kusadari, bahwa cermin yang
kupukul hingga retak semalam masih jauh lebih beruntung ketimbang hatiku.
Serpihan. Begitulah aku menerjemahkan perasaanku hari itu.
Baiklah, aku tak bisa kembali tidur dan
menghisap kembali kesedihan di atas tempat tidurku itu. Kurapikan dan mengganti
sprei dengan harapan pedihku dapat kubuang. Agak konyol memang, tetapi entah
mengapa perasaanku selalu lebih baik setelah merapikannya. Beberapa menit
kemudian, kusadari diriku berada di bawah guyuran shower air dingin. Diam
beberapa saat, kemudian menghela nafas panjang. Aku tak bisa seperti ini terus.
Semua sudah usai dalam semalam, ya... semalam. Dan aku harus segera move on,
melanjutkan hidup seperti nasehat orang-orang terhadap makhluk yang patah hati
sepertiku.
PING!!!
Kuraih ponselku dan sebuah nama yang kukenal
menyapa. Dia bertanya, mengapa tak melihatku pagi ini. Tanpa menutupi apapun
kuceritakan kejadian semalam padanya. Aku sudah biasa menceritakan beberapa hal
pribadi tentangku padanya, demikian pula ia. Katakan saja memang beberapa waktu
ini ia menjadi salah satu sahabat yang mendukungku. He is cute anyway! Astaga,
apa yang sedang kupikirkan. Mendadak pedihku hilang dan diganti perasaan hangat
dan nyaman. Segera kuakhiri perbincangan dengannya, aku tahu aku sedang rapuh
dan bisa jadi aku melampiaskan kekecewaanku padanya. Dan, aku tak mau itu...
Sepotong cokelat...
Diam-diam sudah sebulan aku menyandang status
single. Ternyata tak jauh berbeda juga rasanya. Nyatanya aku terlalu berlebihan
menilai perasaanku yang kupikir tinggal serpihan itu. I am more than OK!
Sekotak cokelat disodorkan di mejaku.
"Buatmu..." katanya. Ia kemudian duduk di atas mejaku dengan santai.
"Hei, kamu nggak sopan!" hardikku. Ia pun tertawa renyah. Katanya ia
suka saat melihatku marah, ia memang sangat suka menggodaku sampai aku
berteriak atau mencubitnya. Dan begitulah, sebulan ini ia menemani hari-hariku.
Sekedar berbincang tentang lagu atau isu di televisi. Namun, ada yang spesial.
Cokelat!
Hari itu ia sedang membuka luka lama demi
menghiburku. Diceritakannya bagaimana ia patah hati dan terluka karena
seseorang yang pernah dicintainya. Hingga saat ini sebenarnya ia tak berani
mengaku kalau sudah move on. Nyatanya, ia tak juga menyandang status in
relationship dengan seseorang. Sudah 2 tahun lebih katanya. Wah, aku termasuk
beruntung. Saat putus tak pernah lama menjomblo dan menunggu. Aku selalu
mendapatkan seseorang yang baru setelah aku kecewa. Sayangnya, hingga saat ini
hatiku belum menetap pada seseorang. Rasanya seperti setelah terluka, diobati,
terluka lagi, dilempar, diobati, dan seterusnya...
Dalam perbincangan itu, ia bercerita banyak
tentang cokelat, hmm... salah satu makanan kegemaranku. Kekasihnya yang dulu
pandai membuat makanan, kalau tak salah mengingat, mantan kekasihnya memang
sengaja mendalami bidang kuliner. Ia tahu benar bagaimana membuat praline
cantik dengan isi yang unik. Yang membuat cokelat itu berbeda dengan cokelat
lainnya. Bahkan, ia memadukan minuman beralkohol, yang aku tahu caranya tak
semudah yang dibayangkan. Kami pun bercanda, bercerita, menikmati setiap
potongan cokelat sembari menyisipkan cerita kebahagiaan dan pedihnya kami.
Sejak hari itu, aku jadi lebih sering berbincang dengannya, eumm... kupikir
lagi ternyata hampir 24 jam kami selalu berkomunikasi.
Sejak hari itu pula, kedekatan kami tak hanya
sekedar bercerita tentang kisah patah hati. Kami saling mengobati, merawat,
memperhatikan, dan mencintai...
Oya, hatiku saat ini telah berlabuh. Aku tak
ingin berpindah ke lain hati lagi. Aku nyaman di sini dengan segala kelebihan
dan kekurangan yang dimilikinya. Karena ia telah membuatku tetap percaya, bahwa
cinta itu ada, di dalam kekecewaan maupun kebahagiaan. Jangan takut untuk
mencintai...