Ide mendirikan negara Yahudi dalam
perkembangan gerakan Zionis, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Theodore Herzl.
Dalam tulisannya, Der Jadenstaat (Negara Yahudi), dia mendorong organisasi
Yahudi dunia untuk meminta persetujuan Turki Usmani sebagai penguasa di
Palestina agar diizinkan membeli tanah di sana. Kaum Yahudi hanya diizinkan
memasuki Palestina untuk melaksanakan ibadah, bukan sebagai komunitas yang punya
ambisi politik (lihat: Palestine and The Arab-Israeli Conflict, 2000: 95).
Keputusan ini memicu gerakan Zionis radikal. Bersamaan dengan semakin
melemahnya pengaruh Turki Usmani, para imigran Zionis berdatangan setelah
berhasil membeli tanah di Palestina utara. Imigrasi besar-besaran ini pun
berubah menjadi penjajahan tatkala mereka berhasil menguasai ekonomi, sosial
dan politik di Palestina dengan dukungan Inggris (Israel, Land of Tradition and
Conflict, 1993:27).
Berakhirnya Perang Dunia I, Inggris berhasil
menguasai Palestina dengan mudah. Sherif Husein di Mekah yang dilobi untuk
memberontak kekuasaan Turki juga meraih kesuksesan. (1948 and After: Israel and
Palestine, 1990:149). Rakyat Palestina semakin terdesak dan menjadi sasaran
pembantaian. (2000:173). Agresi Zionis terus berlanjut, 360 desa dan 14 kota
yang didiami rakyat Palestina dihancurkan dan lebih 726.000 jiwa terpaksa
mengungsi.
Akhirnya pada Jumat, 14 Mei 1948, negara baru
Israel dideklarasikan oleh Ben Gurion, bertepatan dengan 8 jam sebelum Inggris
dijadwal meninggalkan Palestina. Untuk strategi mempertahankan keamanannya di
masa berikutnya, Israel terus menempel AS hingga berhasil mendapat pinjaman 100
juta U$D untuk mengembangkan senjata nuklir.
Elisabeth Diana Dewi dalam karya ilmiahnya,
The Creation of The State of Israel menguraikan bahwa secara filosofi, negara
Israel dibentuk berdasarkan tiga keyakinan yang tidak boleh dipertanyakan: (a)
tanah Israel hanya diberikan untuk bangsa pilihan Tuhan sebagai bagian dari
Janji-Nya kepada mereka. (b) pembentukan negara Israel modern adalah proses
terbesar dari penyelamatan tanah bangsa Yahudi. (c) pembentukan negara bagi
mereka adalah solusi atas sejarah penderitaan Yahudi yang berjuang dalam
kondisi tercerai berai (diaspora). Maka, merebut kembali seluruh tanah yang
dijanjikan dalam Bibel adalah setara dengan penderitaan mereka selama 3000
tahun. Oleh sebab itu, semua bangsa non-Yahudi yang hidup di tanah itu adalah
perampas dan layak untuk dibinasakan.
Yahudi dalam Al-Quran
Fakta fenomenal saat ini yang menggambarkan
arogansi, kecongkakan dan penindasan Yahudi terhadap kaum muslimin adalah
hikmah yang harus diambil dari Firman-Nya: Dan telah Kami tetapkan terhadap
Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka
bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan
yang besar.” (QS.17:4). Dalam tafsir Jalalayn dijelaskan bahwa maksud fil ardhi
dalam ayat itu adalah bumi Syam yang meliputi Suriah, Palestina, Libanon,
Yordan dan sekitarnya.
Pembunuhan bukan hal asing dalam sejarah
Yahudi. Bahkan nabi-nabi mereka, seperti Nabi Zakariya dan Nabi Yahya pun
dibunuh. Mereka juga mengira telah berhasil membunuh Nabi Isa dan bangga atas
usahanya. Tapi Al-Quran membantahnya (QS.4:157). Inilah di antara makna bahwa
yang paling keras permusuhannya terhadap kaum beriman ialah orang Yahudi dan
musyrik (QS. 5:82).
Penolakan janji Allah (QS. 5:21-22) yang
memastikan kemenangan jika mau berperang bersama Nabi Musa, membuktikan
sebenarnya Yahudi adalah bangsa penakut, pesimis, tamak terhadap dunia dan
lebih memilih hidup hina daripada mati mulia. Bahkan QS. 5:24 menggambarkan
bahwa mereka tidak butuh tanah yang dijanjikan dan tidak ingin merdeka selama
masih ada sekelompok orang kuat yang tinggal di sana. Lalu mereka meminta Nabi
Musa dan Tuhannya berperang sendiri.
Oleh karena itu Al-Quran menggambarkan bahwa
kerasnya batu tidak bisa mengimbangi kerasnya hati kaum Yahudi. Sebab masih ada
batu yang terbelah lalu keluar mata air darinya dan ada juga yang meluncur
jatuh karena takut kepada Allah (QS. 2:74). Keras hati kaum Yahudi ini di
antaranya disebabkan hobi mereka mendengarkan berita dusta dan makan dari usaha
yang diharamkan (QS. 5:24).
Dua Belas Kejahatan Yahudi
Dalam buku Qabaih al-Yahud dijelas 12 kejahatan
Yahudi yang termaktub dalam Al-Quran. Kejahatan itu adalah sebagai berikut:
- Menuduh Nabi Musa punya penyakit kusta karena tidak mau mandi bersama mereka. (QS. 33:69)
- Enggan melaksanakan Taurat, sehingga Allah mengangkat gunung Tursina untuk mengambil perjanjian yang teguh. (QS.2:93)
- Tidak mau beriman kecuali jika melihat Allah langsung. (QS. 2:55 dan 4:153)
- Merubah perintah agar masuk negeri yang dijanjikan seraya bersujud dan mengucapkan hithah, yakni memohon ampunan. Tapi mereka mengganti perintah itu dengan cara melata di atas anusnya dan mengatakan hinthah, yakni sebutir biji di rambut. (QS. 2:58-59
- Menuduh Nabi Musa mengolok-olok mereka saat mereka disuruh menyembelih sapi betina. (QS. 2:67)
- Menulis Alkitab dengan tangan mereka, lalu mengatakan ini dari Allah. (QS. 2:79)
- Memutar-mutar lidahnya untuk menyakinkan bahwa yang dibacanya itu adalah wahyu yang asli. (QS. 3:78)
- Merubah Firman Allah. (QS.2:75)
- Menyembah patung sapi saat ditinggal Nabi Musa mengambil Taurat. (QS.2: 51 dan 92)
- Mengatakan Tangan Allah terbelenggu. (QS.5:64)
- Menuduh Allah itu faqir. (QS. 3:181)
- Menyuruh Nabi Musa dan Tuhannya berperang untuk mereka (QS.5:24)
Di samping itu, sosok nabi yang seharusnya
dijadikan suri tauladan, justru dinistakan. Nabi Ibrahim dalam Kejadian pasal
12:10-16 dan 20:1-14, dikisahkan sebagai orang yang hina, menjijikkan dan rakus
harta benda. Beliau dituduh menjual isterinya yang cantik demi meraih
keuntungan. Kitab suci mereka tidak pernah menceritakan beliau sebagai Nabi
pemberani yang menghancurkan patung meskipun harus dilemparkan kedalam api,
menyeru ayah dan kaumnya meninggalkan kemusyrikan. Kisah memilukan juga menimpa
Nabi Luth. Dalam Kejadian Pasal 19:30-38, beliau dikisahkan menzinahi kedua
putrinya dalam keadaan mabuk.
Islam adalah musuh permanen bagi Yahudi dan
Nasrani. Sebab Islam adalah satu-satunya agama yang kitab sucinya mengoreksi
langsung kesalahan dua agama itu. Ibarat seorang adik, ia berani membongkar
kejahatan kedua kakaknya. Oleh sebab itu, kedengkian mereka tidak akan padam
dan masih eksis dalam kajian-kajian mereka. Contoh kedengkian intelektual ini
seperti klaim bahwa Al-Quran banyak dipengaruhi kosa kata Ibrani, seperti
diungkapkan Adnin Armas dalam bukunya Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran.
Klaim ini dicetuskan oleh Abraham Geiger (1810-1874), seorang rabi dan pendiri
Yahudi Liberal di Jerman dalam karyanya, Apa yang telah Muhammad pinjam dari
Yahudi?
Jauh sebelumnya, Imam Syafi’i telah menolak
tudingan semisal itu dan menguatkan bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab. Sebab semua lafadz dalam Al-Quran mustahil tidak dipahami oleh semua
orang Arab, meskipun sebagian lafadz itu ada yang tidak dimengerti oleh
sebagian orang Arab. Hal ini mengingat luasnya samudera bahasa Arab, bukan
karena kata itu tidak berasal dari bahasa Arab. Karena kata-kata yang
dituduhkan asing itu telah menjadi bahasa Arab, dikenal dan telah digunakan
oleh masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.
Anehnya, virus Geiger kini berkembang subur di
sebagian umat. Pengacauan studi Islam dan maraknya franchise-franchise
hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran di sebagian institusi pendidikan tinggi
Islam sangat potensial melemahkan akidah dan ukhuwah. Fenomena ini perlu
dipertimbangkan para tokoh umat di samping fatwa tentang pemboikotan produk
Israel dan Amerika.